Ulasan Pratinjau Terjemahan Novel Babel (R.F Kuang)
Tulisan ini dibuat sebagai kirimanku untuk sayembara yang diadakan oleh Shira Media, penerbit terjemahan Bahasa Indonesia Babel. Tulisan ini terbagi atas dua bagian: latar belakang pribadi berkaitan dengan karya yang mempengaruhi penilaian dan penilaian itu sendiri.
Babel menceritakan kisah hidup Robin. Bocah imigran Tionghoa sebatang kara di Inggris era 1800 setelah ia menerima ‘kontrak hidup’ dari seorang professor penerjemahan. Konflik utama dalam cerita terjadi saat masa kuliahnya di Oxford. Runtutan peristiwa yang dialami Robin memaksanya menghadapi realita.
Sebagian besar karena garis cerita itulah Babel dekat denganku. Membaca Babel itu lebih dari hiburan. Kisahnya mendorongku untuk mempertanyakan kembali apa itu tanah air, peran bahasa, dan identitas.
Lanjutkan membaca gratis dengan mengetuk tautan teman ini. Untuk akses lansung, pertimbangkanlah untuk menjadi Anggota Medium.
Aku ‘chindo’. Begitulah orang Indonesia keturunan Tionghoa populer disebut belakangan ini. Aku imigran Tionghoa generasi ketiga lebih tepatnya. Sama seperti Robin, kapal lah yang membawa para lelulurku sampai ke negara baru yang kini disebut rumah. Sama seperti Robin jugalah, mereka menanggalkan bahasa Tionghoa.
Bahasa Ibuku adalah Bahasa Indonesia. Karena aku tumbuh besar di perkotaan yang erat dengan globalisasi, Bahasa Inggrisku kerap dikomentari ‘cas-cis-cus banget’. Mereka tidak salah. Ia sudah begitu nyaman, begitu familiar. Aku sendiri kadang tidak sadar tengah menggunakannya.
Sayangnya, kemampuanku dalam bahasa leluhurku sendiri begitu minim. Aku tidak bisa berbahasa Mandarin. Aku tidak mampu mengenali dialek konghu, ciri khas dari kampung halaman buyutku. Aku bahkan tidak bisa melafalkan nama Tionghoa-ku sendiri dengan benar. Nama yang diberikan Angkong (kakek) orang terakhir di keluarga kami yang bisa berbicara dalam Mandarin.
Kemiripan kisah Robin, leluhurku, dan aku terus berlanjut. Detail lika-liku kehidupan kami kerap bersinggunga. Orang dengan latar belakang campuran di negara yang butuh diyakinkan bahwa kami pantas dianggap sebagai warga lokal.
Jadi bayangkan bagaimana rasanya ketika aku pertama kalinya membaca Babel dalam bahasa aslinya (Bahasa Inggris), menyadari bahwa ceritanya bukanlah romantisasi subkultur Dark Academia semata dalam institusi penerjemahan.
Singkatnya, Babel memaparkan begitu banyak hal. Berbagai pengalaman imigran, dinamika kekuasaan, relasi antar kelompok, lingkungan akademis, dan lainnya. Masing-masing dengan pengalaman autentik dan kritiknya sendiri.
Hal-hal tersebut membuatku membayangkan membaca Babel dalam Bahasa Ibuku menjadi hal yang menakutkan.
Begini, jika terjemahannya tidak tepat dan kikuk, maka seluruh orang yang terlibat dalam karya terjemahan tersebut telah melakukan yang diperingati dalam karya itu sendiri
“…an act of translation is then necesarilly always an act of betrayal?”
Ch. 8, pg 202
Jika terjemahannya mengalir dengan jernih dan masih membawa intisari karya asli dalam arusnya, maka aku akan naik pitam dan menangisi kembali isi buku Babel dalam bahasa yang memiliki ikatan emosional lebih dalam denganku.
Sayembara Preview Novel Babel memberiku kesempatan untuk menghadapi ketakutan ini.
Setelah membaca terjemahan Indonesia yang dibagikan dan membaca ulang bagian yang sama dalam bahasa aslinya, aku menemukan beberapa hal menarik.
Pertama, beberapa bab awal Babel berfokus pada world-building, siapa Robin, dan bagaimana alur berpikirnya. Belum banyak berkutat dengan aspek yang membuat Babel berbeda dan kontroversial dibandingkan karya populer lain saat ini, yaitu ide-ide sosial dan politik yang akan baru mulai diselami di Buku II. Sisi world-building dan pemaparan ide ini menggunakan kosakata dan diksi yang berbeda. World building menggunakan banyak kata benda untuk menggambarkan hal-hal nyata/memiliki rupa dan kata sifat untuk menggambarkan perasaan seseorang atau menimbulkan suatu perasaan tertentu terhadap hal yang ada. Pemaparan ide sosial-politik walaupun pasti menggunakan kata benda dan sifat juga, memiliki tujuan akhir yang berbeda yaitu menginformasikan dengan sudut pandang objektif. Bayangkan saja gaya bahasa artikel penelitian yang khas. Kadang seperti itulah membaca banyak bagian Babel yang ‘berat’.
Menurutku, terjemahan sisi world-building Babel bekerja dengan baik dan bahkan membuatku mempelajari hal baru yang tidak didapat dari bahasa aslinya.
Aku diingatkan bahwa masih banyak yang belum kuketahui dari bahasa ibuku sendiri seperti ‘betet’, ‘telengas’, ‘tirah baring’, dan lainnya. Lebih lucunya lagi, aku padahal familiar dengan padanan mereka dalam Bahasa Inggris.
Aku juga melihat bagaimana sejarah dan kondisi sosial-politik dalam negaraku mengizinkan adanya ruang bagi dua kata berbeda untuk mendeskripsikan hal yang sama, ‘Tiongkok’ dan ‘Cina’. Hal ini sebenarnya cukup membingungkan, terlebih dengan adanya juga ‘Tionghoa’, ‘Bahasa Tionghoa’, dan ‘Mandarin’ di dalam cerita. Praktik penggunaan ‘Tiongkok’ dan ‘Tionghoa’ yang relatif baru masih belum dipahami oleh banyak orang dan Babel bisa menjadi momen yang tepat untuk meluruskan semuanya lewat dibuatnya catatan kaki tambahan.
Kesan yang kudapat dari bagaimana R.F Kuang menggunakan Bahasa Inggris dalam naskah aslinya adalah ketajaman. Kuang tidak menyia-nyiakan kekayaan kosakata bahasa tersebut untuk memuaskan dahaganya terhadap detail dan sarkasme.
Saya salut dengan komitmen Siska Nurohmah selaku penerjemah edisi Bahasa Indonesia dalam mencari padanannya yang tepat. Seru membaca bagaimana beliau mengatasi masalah ini.
Kadang beliau mampu menyetarakan ketajaman tersebut. Contohnya…
- “…quashed his memories.” menjadi “menindas ingatannya”.
- “cloyingly sweet taste” menjadi “rasa manis yang giung”
Kadang terjemahannya simplikatif, memperhalus ketajaman. Contohnya…
- “His mother had perished that morning” menjadi “Ibunya meninggal pagi itu”. Perished berarti binasa atau hancur dalam cara yang tidak mengenakkan (mendadak, kasar).
- “…while others teetered on the desks…” menjadi “…sementara yang lain bertengger di atas meja…”. Teeter berarti bergoyang, bergerak bolak-balik tidak stabil.
Kadang, kata dalam teks aslinya memiliki padanan yang umum digunakan. Akan tetapi, penerjemah memilih kata lain yang membuat terjemahannya lebih kaya bahasa. Contohnya…
- ‘whined’ menjadi ‘melenguh’, bukannya ‘merengek’
- ‘falling over’ menjadi ‘terjerembap’ bukannya ‘tersungkur’
- ‘gods’ menjadi ‘dewata’ bukannya ‘para dewa’ atau ‘dewa-dewa’
Kadang penerjemah menggunakan kata yang sama dalam Bahasa Indonesia untuk menerjemahkan dua atau lebih kata berbeda dalam Bahasa Inggris atau sebaliknya. Contohnya…
- ‘unanchoring’ dan ‘bewildered’ menjadi ‘tercerabut’ yang berarti terasing dari lingkungan dsb, tercabut
- ‘spat’ menjadi ‘mendamprat’ dan ‘bunyi omelan’
Saya suka dengan bagaimana ritme cerita lewat berbahasanya dipertahankan. Contohnya dalam menerjemahkan “The boy stared ar his mother for a long moment”. Reflek banyak orang mungkin menerjemahkannya menjadi “Anak itu menatap lama ibunya”, akan tetapi dalam kasus ini diterjemahkan menjadi “Anak itu menatap ibunya, lama”. Adaptasi kecil ini menekankan durasi yang menjadi inti emosional dari kalimat.
Saya juka suka dengan bagaimana penerjemah menggantikan kata yang tidak ada padanan persisnya dalam Bahasa Indonesia. Contohnya…
- “Thousand emotions worked through” menjadi “seribu perasaan berkelindan”. Kelindan (KBBI) yaitu erat menjadi satu
- “Lion’s share” menjadi “melimpah ruah”
- “Despite the toil” yang berarti harfiah “meskipun harus bekerja keras” menjadi “tertungkus lumus” yang berarti terbenam dalam pekerjaan
Akan tetapi, ada juga keputusan penerjemahan yang membuat saya bertanya-tanya. ‘Mr.’, ‘Mrs.’, dan lainnya tidak diubah menjadi Tuan, Nyonya, dan lainnya. Juga dalam beberapa momen seperti ucapan Prof. Lovell yang diketik ulang Bahasa Inggrisnya ketika dia menjelaskan kata Latin, Disce. Pembaca nampaknya diingatkan bahwa cerita yang dibaca awalnya tidak ditulis dalam Bahasa Indonesia, atau setidaknya tidak berlatarbelakangkan masyarakat yang berbahasa Indonesia.
Akan tetapi, pertanyaan lugu Robin soal apakah Oxford adalah tempat pusat perdagangan sapi tidak dijelaskan. Meninggalkan pembaca yang tidak tahu bahasa Inggris ‘Sapi’ dari narasi.
Saya teringat dengan penggalan dalam Babel “Do we try our hardest, as translators, to render ourselves invisible? Or do we remind our reader that what they are reading was not written in their native language?” (cp. 8, pg 202).
Jadi dimanakah kedudukan penerjemah dan tim editorial terhadap karya terjemahan ini?
Jadi begitulah, tidak sabar melihat bagaimana keseluruhan terjemahannya dari sedikit yang sudah dibocorkan!
